Waktu saya lihat bukunya pertama kali di Perpustakaan Balai Pemuda Surabaya, saya langsung tertarik dengan judulnya. Selain karena saya sedang terhipnotis karya-karya seorang artis dari Korea Selatan, juga karena beberapa waktu lalu saya sempat baca di salah satu artikel Deutsche Welle tentang bagaimana peliknya perang Korea yang terjadi di tahun 1950-an ini. Bagaimana banyak orang, tentara dan warga sipil yang harus dikorbankan. Dari ketertarikan itu, saya ambil, saya amati buku tersebut dan memutuskan untuk membacanya karena adanya nama Mochtar Lubis sebagai penulis, nama yang tidak asing bagi saya.
Benarlah. Setelah dibaca, tulisan beliau itu menarik hati. Sebagaimana karya-karya para penulis yang sudah sangat berpengalaman di dunia jurnalistik atau penulis karya-karya sastra, tulisannya mengalir dengan begitu jernih.
Buku ini adalah karya Mochtar Lubis pertama yang saya baca.
Mochtar Lubis adalah satu dari banyaknya wartawan PBB yang diundang untuk meliput perang Korea ini. Dalam ceritanya, tidak banyak wartawan yang bersedia merasakan langsung bagaimana keadaan di Korea selain karena ada kepentingan mereka. Kepentingan yang berbeda pula. Misalnya wartawan dari Filipina yang datang meliput ke Korea karena ada pasukan Filipina di Korea, wartawan dari Texas yang hanya peduli dengan pasukan Texas dari Utara, dan ada yang hanya mencari berita yang makes a good copy di negara mereka. Bahkan ada yang hanya tinggal di Tokyo dan mendapatkan berita dari wartawan yang terjun langsung di Korea. Bagi kebanyakan dari mereka, latar belakang perang Korea tidaklah terlalu penting untuk dibahas di dunia internasional. Dari yang saya baca, Mochtar Lubis ingin berbagi sudut pandang dari segi kemanusiaan di balik perang antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Kisah dalam buku ini dimulai dari perjalanan awal Mochtar Lubis atas undangan sebagai wartawan perang dari PBB untuk meliput perang Korea. Dari Jakarta, naik pesawat ke Surabaya untuk berhenti sejenak, isi minyak, lalu Balikpapan, lanjut Manila, dan Okinawa. Lalu perjalanan berlanjut di Tokyo, dan diceritakannya pemandangan kota yang rapi dan menyenangkan untuk dibuat jalan-jalan keliling kota. Sesuatu yang patut diapresiasi dari orang-orang Jepang yang cepat bangkit setelah peristiwa perang yang merusakkan kota. Diceritakannya juga adanya hotel khusus wartawan di Tokyo dengan fasilitas yang bagus. Setelah dari Tokyo, para wartawan perang PBB melanjutkan perjalanan menuju Pusan. Menurut saya, penuturan penulis tentang orang-orang Korea yang suka memakai pupuk dari kotoran manusia itu cukup menggelitik. Sampai-sampai ada pernyataan, "Kalau kelamaan tinggal di Korea kita akan ikutan bau kotoran manusia dan tidak bisa hilang meskipun mandi berkali-kali." Haha.
Dari Pusan, para wartawan menuju Taegu dengan menaiki jeep. Suasana di camp sangat berbeda jika dibandingkan dengan suasana di Tokyo. Debu yang tebal dari kendaraan-kendaraan militer dan ruang tidur yang sangat sempit menjadi sesuatu yang cukup menantang. Sebenarnya perang Korea ini adalah konflik kepentingan. Amerika saat itu mengerahkan kekuatan mereka untuk mempertahankan Korea Selatan dari pendudukan Korea Utara yang diperkuat oleh kekuatan Soviet yang saat itu ingin meluaskan faham komunisme, sedangkan Amerika berusaha membendungnya. Menurut penulis sendiri, dia menyatakan bahwa kita semua tidak bisa melihat hanya dari satu sisi. Karena semua pihak saat itu menderita akibat perang ini, apalagi masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa dan turut menjadi korban.
Sebenarnya, pada awal ketika faham komunis hadir di Seoul, masyarakat menyambut baik karena rayuan manis akan kesejahteraan rakyat yang adil merata. Tapi, lama-kelamaan para penguasa menjadi semena-mena kepada rakyat dan membuat rakyat menderita.
Dalam buku ini juga ada cerita tentang bapak tua pemilik pohon berbuah, dia mengeluh karena buahnya diambil oleh tentara Amerika karena pihak Amerika sudah membayar sewa dan merasa berhak atas semua buah dari pohon tersebut. Awalnya, para wartawan merasa kasihan terhadap bapak tua ini karena buah-buah nya sudah habis tak bersisa di pohonnya. Tapi kemudian rasa kasihan itu mendadak hilang waktu wartawan tersebut melihat sendiri bagaimana kasarnya bapak tua tersebut ketika ada warga kelaparan yang mendekati pohon buah tersebut. Masih untung pohon dia disewa dan dia mendapat bayaran dari tentara Amerika. Kalau saja bertemu pasukan Korea Utara, sudah habis pohon itu dibagi-bagikan kepada semua orang.
Di bagian akhir, buku ini bercerita tentang pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung dan pemimpin Korea Selatan, Syngman Rhee. Kim Il-sung dipandang sebagai seorang pahlawan yang saat pendudukan Jepang melakukan perjuangan melawan Jepang. Sedangkan Syngman Rhee hidup sebagai seorang pemimpin politik dalam buangan di luar negeri. Dia mencari bantuan ke Amerika untuk menjamin kemerdekaan Korea dan mencegah Jepang untuk menguasai Korea, tapi perjuangannya tersebut tidak berhasil.
Menurut saya, buku ini membuka perspektif kemanusiaan dibalik kisah perang dalam sebuah sejarah. Antara komunisme Soviet dan liberalisme Amerika, sebenarnya semua punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, tergantung pada pemimpin mereka. Namun, di Indonesia, pandangan yang kita gunakan adalah Pancasila yang sesuai dengan kepribadian rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam latar belakang dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar